Jakarta— Ketua PP GPII, Rizal Rudiansyah, menyampaikan kritik tegas terkait kebijakan pemerintah yang menerapkan kemasan polos rokok melalui PP No. 28 Tahun 2024 dan RPMK. Menurut Romadhon, kebijakan ini berpotensi mengganggu keberlangsungan industri tembakau, terutama UMKM, serta berpotensi mengurangi penerimaan negara hingga Rp 27,7 triliun.
“Kami melihat kurangnya keterlibatan Kementerian Perindustrian dalam penyusunan aturan ini sebagai masalah. Tanpa masukan dari pihak-pihak terkait, kebijakan ini bisa mematikan usaha kecil yang bergantung pada pengenalan merek,” kata Rizal, Jumat (20/9/2024).
Rizal juga mengingatkan bahwa penerapan kebijakan ini telah menimbulkan kebingungan di negara-negara seperti Australia, Skotlandia, dan New Zealand, di mana konsumen kesulitan membedakan produk yang ada. “Penerapan kebijakan serupa di Inggris pada 2017-2018 bahkan menyebabkan penurunan pendapatan perusahaan hingga 16%, dan penurunan produksi hingga jutaan batang rokok,” tegas Rizal
Anggota Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, juga menyuarakan kekhawatirannya terkait kebijakan ini. Menurut Misbakhun, kebijakan tersebut terkesan hanya menguntungkan pihak tertentu, terutama pelaku usaha rokok elektronik impor. Misbakhun menambahkan bahwa aturan tersebut dapat menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat di dalam negeri.
Ketua GPII menyambut pandangan ini dan mendesak pemerintah untuk lebih transparan dan membuka ruang dialog yang lebih luas. “Kami setuju bahwa ada potensi diskriminasi dalam pengaturan ini. Pemerintah harus memastikan bahwa semua jenis produk, baik tembakau konvensional maupun rokok elektronik, diatur secara adil tanpa menguntungkan pelaku usaha global yang punya kekuatan modal lebih besar,” lanjut Rizal.
Selain dampak pada ekonomi, Rizal juga memperingatkan kemungkinan meningkatnya rokok ilegal di pasar jika kebijakan ini diterapkan tanpa solusi komprehensif. “Ini jelas akan memperbesar risiko peredaran rokok ilegal yang tentunya merugikan penerimaan negara,” ujarnya.
Sebagai penutup, Rizal Ketua GPII menegaskan bahwa pemerintah harus meninjau ulang kebijakan ini dan melibatkan semua pihak, termasuk Kemenperin, dalam proses pembahasan lebih lanjut.
“Kebijakan ini harus dipertimbangkan secara matang agar tidak merugikan industri dalam negeri dan penerimaan negara,” tutupnya.