Jakarta— Anggaran Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 mencatatkan peningkatan yang signifikan. Polri menerima alokasi anggaran sebesar Rp126,62 triliun, menempatkannya sebagai salah satu lembaga dengan anggaran terbesar. Hal ini memicu kritik dari berbagai pihak, termasuk Ketua PP Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), Rizal, yang mempertanyakan relevansi peningkatan anggaran tersebut di tengah krisis profesionalitas aparat kepolisian.
Menurut Rizal, anggaran besar untuk Polri tidak sejalan dengan peningkatan kualitas layanan dan profesionalitas aparat di lapangan. “Kita melihat ada kesenjangan antara besarnya anggaran yang disetujui dengan kinerja Polri dalam menjalankan tugasnya. Harus ada evaluasi mendasar sebelum anggaran sebesar itu disetujui,” kata Rizal, Kamis (19/9/2024).
Ia menyoroti bahwa anggaran sebesar itu seharusnya tidak hanya digunakan untuk pengadaan peralatan atau fasilitas, tetapi lebih difokuskan pada peningkatan kompetensi dan profesionalitas personel Polri.
“Jika hanya untuk belanja alat dan material khusus (almatsus) seperti gas air mata atau peralatan lain tanpa mengubah kultur dan pendekatan aparat di lapangan, maka anggaran itu tidak tepat guna,” lanjutnya.
Rizal juga menekankan bahwa tingginya angka kekerasan yang melibatkan aparat kepolisian seharusnya menjadi refleksi bagi DPR dan pemerintah sebelum mengalokasikan anggaran jumbo tersebut. Data dari KontraS menunjukkan bahwa dalam kurun waktu Juli 2023 hingga Juni 2024, terdapat 645 peristiwa kekerasan yang melibatkan anggota Polri, menyebabkan 759 korban luka dan 38 korban tewas. “Ini jelas menunjukkan adanya krisis akuntabilitas dan profesionalitas di tubuh Polri,” ujar Rizal.
Krisis ini, menurut Rizal, semakin mempertegas pentingnya reformasi di tubuh Polri sebelum pemerintah mengucurkan anggaran besar. “Anggaran besar seharusnya dibarengi dengan reformasi struktural yang mendalam, khususnya terkait akuntabilitas aparat dalam menjalankan tugas. Kita tidak bisa terus-menerus melihat kasus kekerasan dan penyalahgunaan wewenang oleh aparat tanpa ada tindakan tegas,” tambahnya.
Rizal mendesak DPR untuk lebih selektif dalam menyetujui anggaran Polri. “Parlemen harus lebih kritis dan tidak begitu saja meloloskan pengajuan anggaran yang besar. Reformasi mendasar di tubuh Polri harus menjadi syarat utama sebelum anggaran tersebut disetujui,” pungkasnya.
Ke depan, Rizal berharap peningkatan anggaran Polri benar-benar digunakan untuk meningkatkan akuntabilitas, profesionalitas, dan integritas aparat kepolisian, bukan hanya untuk pengadaan peralatan.
“Tanpa perubahan paradigma dan reformasi di internal Polri, anggaran besar hanya akan menjadi beban tanpa manfaat nyata bagi masyarakat,” katanya.
Rizal menegaskan bahwa kritik terhadap Polri bukan berarti bentuk ketidakpercayaan, melainkan sebagai wujud kepedulian masyarakat terhadap institusi kepolisian. “Kita semua sayang Polri. Kita ingin Polri menjadi lembaga yang lebih baik, yang melayani masyarakat dengan profesional dan akuntabel. Oleh karena itu, kritik dan kontrol dari masyarakat adalah hal yang wajar dan harus diterima sebagai bagian dari proses perbaikan,” kata Rizal.
Ia juga mengingatkan bahwa bahkan Kapolri sendiri meminta masyarakat untuk terus mengawal dan mengkritik institusi Polri. “Kapolri pernah menyampaikan bahwa Polri harus terus dikritik dan dikawal sebagai tanda bahwa masyarakat peduli. Itu artinya, setiap kritik yang membangun adalah cerminan rasa sayang kita kepada Polri. Harapannya, dengan pengawasan yang baik, Polri akan terus berkembang menjadi lembaga yang profesional, transparan, dan mampu memberikan rasa aman bagi seluruh rakyat Indonesia,” tutup Rizal.