Jakarta— Tokoh Pemuda Sulawesi Tenggara Akril Abdillah, mendesak Kapolda Sulawesi Tenggara (Sultra) untuk segera bertindak tegas atas dugaan pemerasan dan kriminalisasi terhadap seorang guru honorer di Kabupaten Konawe Selatan. Akril mengungkapkan kekhawatirannya bahwa tindakan tersebut merupakan bentuk penyalahgunaan kekuasaan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
“Kejadian ini sangat mencoreng dunia pendidikan, terlebih pada guru honorer yang telah mengabdi tanpa banyak memperoleh hak yang layak. Saya meminta Kapolda Sultra untuk menyelidiki kasus ini dengan serius dan menindak tegas oknum-oknum yang terlibat,” tegas Akril Abdillah melalui keterangan persnya di Jakarta, Senin, 21/10/2024.
Menurut informasi yang beredar, guru honorer tersebut diduga menjadi korban pemerasan oleh beberapa pihak dan dilaporkan atas tuduhan dugaan penganiayaan terhadap siswanya. Kasus ini mendapat perhatian publik karena dianggap sebagai upaya kriminalisasi terhadap tenaga pendidik yang rentan.
Akril juga menekankan pentingnya perlindungan terhadap para guru, terutama yang berstatus honorer, mengingat peran mereka yang vital dalam mencerdaskan generasi bangsa.
“Jangan sampai mereka yang seharusnya kita hormati dan hargai, justru menjadi korban kesewenang-wenangan,” tambahnya.
Akril menegaskan bahwa ia bersama sejumlah aktivis lainnya siap mengawal kasus ini hingga tuntas. Ia menyatakan tidak akan tinggal diam apabila ada upaya untuk menghalangi proses hukum atau melindungi pihak yang terlibat dalam dugaan tindakan pemerasan dan kriminalisasi tersebut.
“Kami akan terus memantau perkembangan kasus ini dan siap mengajukan langkah hukum tambahan jika diperlukan. Guru honorer sudah cukup menderita dengan kondisi kesejahteraan mereka yang minim, jangan sampai mereka juga menjadi korban praktik-praktik kotor oknum tertentu,” ujarnya.
Akril juga meminta agar pemerintah daerah serta aparat penegak hukum memberikan perhatian serius terhadap persoalan ini. Mereka khawatir bahwa jika kasus seperti ini dibiarkan, akan ada banyak guru honorer lain yang takut bersuara dan akhirnya tidak memperoleh keadilan.
“Dinas Pendidikan setempat mesti memberikan perlindungan hukum dan pendampingan kepada guru-guru honorer yang menghadapi masalah hukum. Mereka menilai guru honorer adalah salah satu pilar penting dalam sistem pendidikan di daerah, dan tidak boleh dibiarkan menjadi sasaran intimidasi atau penyalahgunaan wewenang,” ucapnya,
“Kami harap Kapolda Sultra bergerak cepat dan melakukan investigasi yang transparan. Jangan sampai ini menjadi preseden buruk yang akan mencederai kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum dan dunia pendidikan,” tutup Akril.
Urntuk diketahui, Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari pihak sekolah, kejadian ini sebenarnya sudah berlangsung lama. Insiden bermula ketika salah satu siswa mengalami luka goresan di bagian paha dan melaporkan kepada orang tuanya bahwa dirinya telah dipukul oleh gurunya, Ibu Supriyani. Padahal, menurut pihak sekolah, Ibu Supriyani hanya memberikan teguran dan tidak ada kekerasan fisik yang dilakukan.
Untuk meredakan masalah, Ibu Supriyani bersama kepala sekolah mendatangi rumah orang tua siswa tersebut dan meminta maaf. Permintaan maaf ini diterima, namun ternyata dianggap sebagai pengakuan bersalah oleh pihak orang tua yang merupakan anggota kepolisian. Diam-diam, kasus ini diproses lebih lanjut, hingga pada akhirnya Ibu Supriyani dipanggil ke Polda untuk dimintai keterangan, namun secara mengejutkan ia langsung ditahan. Sang suami yang ikut mendampingi malah disuruh pulang tanpa penjelasan lebih lanjut, meninggalkan Ibu Supriyani dalam tahanan, padahal ia masih guru honorer dan memiliki anak kecil.
Permintaan Uang dan Upaya Pemecatan
Menurut informasi yang beredar, ketika pihak sekolah datang untuk meminta maaf, orang tua siswa tersebut meminta uang sebesar Rp 50 juta sebagai kompensasi. Selain itu, orang tua siswa juga menuntut agar Ibu Supriyani dikeluarkan dari sekolah. Namun, karena Ibu Supriyani merasa tidak bersalah, ia menolak untuk membayar uang tersebut. Pihak sekolah pun mendukung Ibu Supriyani dengan menolak tuntutan pemecatan.