Bangka Belitung – Profesor Bambang Hero Sahardjo, Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) dan ahli lingkungan hidup, menghadapi laporan polisi atas tuduhan memberikan keterangan palsu terkait penghitungan kerugian lingkungan senilai Rp 271 triliun dalam kasus korupsi penambangan timah ilegal. Namun, Bambang dengan tegas membantah tuduhan tersebut dan memaparkan fakta-fakta yang mendukung perannya sebagai saksi ahli.
“Saya ingin tahu, keterangan palsunya itu yang mana? Jika keterangan saya dianggap palsu, seharusnya sudah ditolak sejak penyidikan atau persidangan. Namun kenyataannya, keterangan saya diterima oleh majelis hakim,” kata Bambang pada Minggu (12/1/2025).
Bambang mengaku baru mengetahui laporan terhadap dirinya melalui pemberitaan media. Dia dilaporkan oleh kelompok masyarakat yang menamakan diri Putra Putri Tempatan (Perpat) Bangka Belitung, dengan tuduhan melanggar Pasal 242 KUHP tentang pemberian keterangan palsu di persidangan.
Dalam persidangan kasus korupsi penambangan timah di Bangka Belitung, perhitungan kerugian lingkungan yang dilakukan oleh Bambang dan timnya diterima sebagai bukti sah. Perhitungan tersebut mencatat kerugian lingkungan sebesar Rp 271 triliun, yang menjadi bagian dari total kerugian negara senilai Rp 300 triliun.
Kerugian ini terbagi dalam tiga klaster:
1. Kerugian lingkungan sebesar Rp 183,70 triliun.
2. Kerugian ekonomi lingkungan sebesar Rp 74,47 triliun.
3. Biaya pemulihan lingkungan senilai Rp 12,15 triliun.
“Kami menghitung kerugian berdasarkan aturan resmi, dengan melakukan inventarisasi melalui citra satelit dan tinjauan langsung di lapangan. Hasilnya, ditemukan kerusakan di area seluas 170 ribu hektare, termasuk kawasan tanpa izin usaha pertambangan (IUP),” ujar Bambang.
Rektor IPB, Profesor Arif Satria, meminta negara memberikan perlindungan kepada Bambang sebagai akademisi yang bertugas membantu pengusutan kasus korupsi terbesar di Tanah Air.
“Kami melihat bahwa laporan pidana terhadap saksi ahli seperti Profesor Bambang berpotensi merusak tata hukum di Indonesia. Tugas beliau adalah membela negara, bukan pihak yang merusak lingkungan,” tegas Arif.
Bambang menyebut laporan tersebut lebih bernuansa intimidasi daripada upaya mencari keadilan. Ia juga mengkritik pihak pelapor yang tidak menghadirkan perhitungan tandingan saat persidangan.
“Kalau memang tidak setuju, mestinya disampaikan di persidangan dengan data yang jelas, bukan membuat laporan setelah persidangan selesai. Ini hanya menimbulkan teror dan gangguan psikologis bagi saya dan tim,” ujar Bambang.
Kasus korupsi penambangan timah ilegal ini merupakan salah satu skandal terbesar, dengan kerugian negara mencapai Rp 300 triliun. Sebagian besar kerugian berasal dari kerusakan lingkungan akibat eksplorasi tambang di kawasan hutan dan laut.
Majelis hakim dalam putusan Pengadilan Tipikor telah menerima hasil penghitungan kerugian yang dilakukan Bambang sebagai dasar menjatuhkan hukuman kepada para terdakwa.
“Jadi, jika majelis hakim menerima perhitungan kami, apa dasar pelaporan ini? Saya yakin ada motivasi lain di balik ini,” tutup Bambang.
Laporan ini memicu perdebatan publik terkait perlindungan hukum bagi saksi ahli. Banyak pihak mendesak agar negara melindungi para akademisi yang berkontribusi dalam pengungkapan kasus korupsi besar dan perlindungan lingkungan hidup.
Kasus ini diharapkan menjadi momen penting untuk mempertegas komitmen Indonesia dalam menegakkan hukum lingkungan dan memberikan jaminan keamanan bagi akademisi yang menjalankan tugasnya secara profesional.