Jakarta— Aliansi Peduli Tambang Indonesia (APTI) menggelar aksi unjuk rasa di depan Kejaksaan Agung RI dan kantor PT Timah TBK pada hari ini, Rabu (20/11/2024). Aksi ini digelar untuk mengungkap dugaan praktik monopoli dan manipulasi dalam perdagangan komoditi nekel nasional yang dilakukan anak perusahaan PT Timah di wilayah Kabaena Kabupaten Bombana yang berpotensi merugikan negara.
“Sejumlah temuan mengejutkan terkait praktik monopoli dalam perdagangan biji nikel di Indonesia. Saat ini, aktivitas trading di PT Timah yg merambah pada sektor pertambanagan bijih nikel, hanya dimonopoli oleh satu perusahaan trader saja,” ungkap Samsul, Koordinator Lapangan APTI dalam orasinya di depan Kejaksaan Agung RI.
Hasil investigasi APTI mengungkap bahwa penyebab utama dugaan monopoli ini adalah keterkaitan erat antara PT Timah dan PT Trias Jaya Agung, sebuah perusahaan yang memiliki akses eksklusif terhadap jetty atau pelabuhan pengangkutan nikel. PT Trias Jaya Agung diduga memainkan peran kunci dalam menentukan perusahaan trader yang diperbolehkan membeli kargo nikel dari PT Timah.
“PT Trias Jaya Agung menggunakan posisinya sebagai pemilik jetty untuk mengontrol jalannya perdagangan nikel. Siapapun yang ingin membeli nikel dari PT Timah harus mendapatkan izin dari mereka terlebih dahulu. Ini jelas merugikan para trader lain yang tidak mendapatkan akses yang sama,” tegas Samsul.
Temuan lain yang diungkap dalam aksi hari ini adalah ketidakmampuan PT Timah Investasi Mineral (TIM) untuk melakukan transaksi penjualan dalam skema CIF (Cost, Insurance, and Freight). Perusahaan justru dipaksa menggunakan skema FOB (Free On Board) yang kurang menguntungkan, di mana PT Timah harus menanggung seluruh biaya hingga barang sampai di atas tongkang pengangkut.
“Dalam skema CIF, seharusnya PT Timah bisa mendapatkan harga yang lebih tinggi karena biaya pengiriman dan asuransi menjadi tanggung jawab pembeli. Namun kenyataannya, mereka dipaksa menggunakan skema FOB yang merugikan, terutama saat harga pasar nikel sedang tinggi,” jelas Samsul.
APTI juga mengungkap dugaan konspirasi antara trader, PT Trias Jaya Agung, serta jajaran direksi dan komisaris PT Timah Investasi Mineral (TIM). Praktik ini diduga telah mengakibatkan kerugian negara yang signifikan melalui selisih harga penjualan nikel. Selisih harga antara skema CIF dan FOB mencapai 15 USD per metric ton (MT).
“Berdasarkan perhitungan kami, dengan volume ekspor timah Indonesia yang diproyeksikan mencapai 200.000 MT selama tahun 2024, kerugian negara bisa mencapai 45 miliar rupiah. Ini adalah angka yang sangat besar dan tidak bisa dibiarkan begitu saja,” tegas Samsul.
Dalam aksi unjuk rasa ini, APTI mengeluarkan empat tuntutan:
- Mendesak PT Timah Tbk melakukan audit internal terhadap anak usahanya yg bergerak pada pengolahan dan penjualan biji nikel yang beroperasi di Kabaena Kabupaten Bombana
- Segera melakukan pergantian direktur dan komisaris PT Timah Tbk
- Mendesak KPK dan Kejaksaan Agung segera memeriksa pihak terkait termasuk pihak trader dan PT Trias Jaya Agung
- Mengusut tuntas dan memberikan vonis penjara kepada pemilik PT Trias Jaya Agung (Haji Ashar Imran) yang hingga saat ini belum dieksekusi, termasuk status aset alat berat yang disita Kejaksaan Agung yang terindikasi masih dipakai hingga saat ini
“Kami akan terus mengawal kasus ini dan tidak akan berhenti sampai ada tindakan nyata dari pihak berwenang. Ini bukan hanya tentang kerugian finansial, tapi juga tentang kredibilitas industri pertambangan nasional,” tutup Samsul.
Hingga berita ini diturunkan, pihak-pihak terkait belum memberikan tanggapan resmi atas dugaan-dugaan tersebut.