Kendari— Fenomena calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) menjadi isu yang terus diperbincangkan di berbagai kalangan. Muh. Bissabir, Ketua BEM Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo (UHO), bersama Munawar, Ketua DPM Fakultas Hukum UHO, memberikan pandangan mereka mengenai fenomena ini dari perspektif hukum dan dampaknya terhadap demokrasi.
Ketua BEM Fakultas Hukum UHO Muh. Bissabir, menegaskan bahwa calon tunggal merupakan bagian yang sah dari mekanisme politik di Indonesia.
Keberadaan calon tunggal telah diatur dengan jelas dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, dan lebih diperkuat dengan UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2022. Ini membuktikan bahwa secara hukum, calon tunggal adalah bentuk partisipasi politik yang sah,” ujar Bissabir.
Ia menjelaskan bahwa regulasi ini menunjukkan pengakuan terhadap calon tunggal sebagai mekanisme yang sah dalam sistem demokrasi, terutama ketika konsensus kuat mendukung satu calon yang dianggap paling layak memimpin.
Lebih lanjut Ketua DPM Fakultas Hukum UHO, Munawar, juga menekankan pentingnya kualitas kepemimpinan dalam konteks calon tunggal.
“Demokrasi bukan hanya soal banyaknya calon, tetapi tentang seberapa baik calon tersebut dapat memimpin. Dalam UU Nomor 6 Tahun 2023, mekanisme ‘setuju atau tidak setuju’ pada calon tunggal tetap memberi ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi secara demokratis. Ini memastikan bahwa meskipun hanya ada satu calon, legitimasi kepemimpinannya tetap kuat,” kata Munawar.
Ia mengatakan bahwa fenomena calon tunggal sering kali mencerminkan bahwa figur tersebut memiliki kompetensi dan dukungan luas dari masyarakat, sehingga dianggap paling mampu memimpin.
Kedua pemimpin mahasiswa fakultas hukum ini juga melihat fenomena calon tunggal sebagai peluang untuk memperkuat partisipasi publik yang lebih bermakna.
“Dengan adanya satu calon, masyarakat dapat lebih fokus pada program dan visi calon tersebut. Hal ini dapat mendorong diskusi publik yang lebih konstruktif mengenai kebijakan yang ditawarkan,” ujar Bissabir.
“Keberadaan calon tunggal dalam pilkada juga bisa menjadi alat untuk memastikan stabilitas politik dan efisiensi pemerintahan.”tambah Munawar
Mereka berdua sepakat bahwa calon tunggal tidak harus dianggap sebagai ancaman bagi demokrasi.
“Selama prosesnya diatur sesuai dengan UU Nomor 10 Tahun 2016 dan UU Nomor 6 Tahun 2023, serta hak-hak masyarakat tetap dihormati, calon tunggal bisa menjadi mekanisme yang efektif untuk memastikan kepemimpinan yang stabil, kuat, dan berorientasi pada kepentingan publik,” kata mereka.