Opini  

Seperti Warga Negara Biasa, Bahlil berhak Mendapatkan Pendidikan

Bahlil Lahadalia saat ujian promosi doktor di Universitas Indonesia

Oleh: Prof. Dr. Iswandi Syaputra (Guru Besar Ilmu Komunikasi UIN Yogyakarta, Alumni S.2 Ilmu Komunikasi UI)

UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi mengandung prinsip Pendidikan Tinggi diselenggarakan sepanjang hayat, berkeadlian dan tidak diskriminatif. Ini berarti aslinya, Perguruan Tinggi tidak dapat menolak jika ada warga negara yang akan menempuh studi lanjut ke jenjang Perguruan Tinggi. Pada saat bersamaan, setiap warga negara aslinya punya hak untuk melanjutkan studi ke jenjang Pendidikan Tinggi. Relasi keduanya diatur oleh seperangkat aturan turunan dari UU seperti Peraturan/Keputusan Menteri, Keputusan Rektor dan peraturan lainnya yang terkait.

Semangat otonomi kampus memang telah mendorong masing-masing kampus, terlebih kampus yang berbadan hukum PTNBH (Perguruan Tinggi Negara Berbadan Hukum), mengelola dengan prinsip fleksibilitas yang tinggi, agar dapat beradaptasi dengan dinamika dan berbagai perubahan untuk kemajuan masing-masing kampus. Pada saat yang sama, kecenderungan pengembangan pengetahuan dari inter disiplin, ke antar displin mengarah pada pendekatan multi displin, bahkan anti disiplin telah mendorong perguruan tinggi membuka berbagai pendekatan baru. Pendekatan baru ini lazim melibatkan berbagai disiplin baru, kemudian membentuk suatu Program Baru yang melibatkan berbagai disipling keilmuan. Umumnya program ini dikelola oleh Sekolah Pasca Sarjana, karena melibatkan lintas disiplin pengetahuan yang tidak linear dengan pengetahian pada jenjang yang lebih rendah seperti Strata 1. 

Beberapa Program tersebut memang menyasar para pengambil kebijakan atau peminat keilmua khusus. Di UGM ada Program Studi Ketahanan Nasional, di UI ada Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) di beberapa Perguruan Tinggi lain juga memiliki program berbeda. Mungkin saja  tergantung dari arah kebijakandan  ketersediaan SDM masing-masing Pimpinan.

Dalam kasus Bahlil yang mendapat gelar doktor dari SKSG UI, sebenarnya tidak ada masalah selama semua dilalui sesuai peraturan dan dan dijalankan sesuai ketentuan. Banyak sekali pejabat negara, politisi, selebritis, pemuka masyarakat dan orang awam yang mendapat gelar melalui jalur dan mekanisme sekolah di program Doktor Pascasarjana seperti ini. Hal ini justru sangat bagus sekali karena mendekatkan perguruan tinggi sebagai problem solver masalah kebangsaan melalui pemberian pengetahuan pada mahasiswa Doktor yang berasal dari kalangan pengambil kebijakan seperti Bahlil yang juga Menteri ESDM. Selama ini kan ada penilaian Perguruan Tinggi seperti mercu suar, lepas dari dan terpisah dari berbagai problem bangsa. 

Keinginan Bahlil untuk mendapatkan gelar Doktor dari UI saya pikir bukan sekedar gengsi, karena jabatannya sebagai Menteri ESDM sudah sangat bergengsi. Saya dapat merasakan justru Bahlil ini menjunjung tinggi kejujuran dalam setiap perjuangan kehidupannya. Jika dia mau, mungkin dia bisa saja mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari kampus ternama di dalam atau di luar negeri tanpa harus mengikuti kuliah atau mengerjakan tugas-tugas layaknya mahasiswa regular atau hingga menghadapi ujian terbuka yang persiapannya sangat tidak mudah. Tapi mengapa Bahlil memilih ikut kuliah S.3 Program Doktor di SKSG? 

Dari sudut pandang berbeda, saya melihat disinilah kejujuran dan ketulusan Bahlil harus dirasakan, bukan dilihat, oleh para pengkritiknya. Kalau dilihat dari sudut pandang jabatannya, orang pasti menduga-duga, kapan Bahlil masuk kuliah di tengah kesibukannya sebagai Menteri? Siapa yang mengerjakan tugas kuliah Bahlil? Sudut pandang ini lebih menstimulasi pemikiran negatif. Banyak yang tidak paham bahwa berbagai jalur sekolah pascasarjana multidisiplin seperti ini biasanya menerapkan jalur riset untuk mendapatkan gelar Doktor. Beberapa MK sesuai SKS wajib yang relevan dengan riset disertasi biasanya dikonversikan dalam penugasan atau berbagai bentuk kegiatan akademik lainnya. Ini tergantung dengan peraturan internal masing-masing Perguruan Tinggi.

Tapi jika dirasakan dari sudut pandang berbeda, Bahlil justru sedang menunjukkan bahwa dia sedang benar-benar serius ingin menimba ilmu di UI seperti seniornya Akbar Tandjung menimba ilmu hingga Doktor di UGM atau SBY menimba ilmu hingga Doktor di UGM. Di sini saya  harus menaruh hormat pada Bahlil karena dia justru memilih ‘jalur lambat’ untuk mendapatkan Doktor dan serius ingin menimba ilmu dan pengetahuan dari Perguruan Tinggi hingga sampai di ujung studi ujian terbuka Doktor.

Ada yang menilai mutu disertasinya yang rendah, ini siapa yang menilai? Sebagai dokumen publik, disertasi Bahlil dapat saja dibaca dan dinilai luas oleh siapa saja. Tetapi penilaian yang berimplikasi tentu harus dilakukan oleh expert (ahli). Termasuk dugaan dan tuduhan tingginya similarity atau plagiasi Turnitin Disertasi Bahlil. Dua hal ini dapat menunjukkan  awam yang menilai tidak paham prosedur dan tahapan ujian Doktor atau mereka tidak percaya pada Bahlil. Jika tidak paham prosedur, sebaiknya kuliah Doktor hingga ujian terbuka dulu saja. Semua disertasi pada Perguruan Tingggi itu harus lolos similarity dengan tingkat presentasi berbeda-beda. Ada yang 20% hingga 35%. Dan itu pasti secara prosedur sudah dilalui melalui semua tahapan ujian hingga sampai pada ujian terbuka. Dalam hal ini saya harus percaya dan menghormati mekanisme birokrasi akademik di semua Perguruan Tinggi. Jika tidak percaya pada Bahlil, itu persoalan personal masing-masing. Tentu saja sebagai pejabat yang memiliki karakter agak terbuka dan spontan, tidak semua orang bisa dipaksa menyukai Bahlil. 

Jika Bahlil kemudian di permasalahkan, apanya yang mau dimasalahkan? Jika Bahlil akan diinvestigasi, apanya yang mau diinvestigasi?

Exit mobile version